KALIMANTAN UTARA – Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengutuk militer Myanmar yang telah melakukan kudeta terhadap pemerintahan resmi negara mereka.
Pada Senin, 1 Februari, Biden juga mengancam akan kembali memberikan sanksi terhadap Myanmar. Hal tersebut menyusul kudeta dan penahanan pemimpin Myanmar dan perain Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi.
Biden berpendapat jika kudeta Myanmar merupakan serangan langsung terhadap transisi menuju negara demokrasi dan supremasi hukum.
Krisis di Myanmar adalah ujian besar pertama pemerintahan janji Biden untuk lebih banyak berkolaborasi dengan sekutu dalam tantangan internasional (terutama pada pengaruh China yang meningkat).
Perlu diketahui, janji politik Biden berbeda dengan pendekatan 'America First' yang dilakukan oleh mantan Presiden Donald Trump.
"Komunitas internasional harus bersatu dalam satu suara untuk menekan militer Burma agar segera melepaskan kekuasaan yang mereka rebut, membebaskan para aktivis dan pejabat yang mereka tangkap," terang Biden dilansir dari Reuters.
Biden menjelaskan jika sebelumnya pemerintah Amerika Serikat telah mencabut sanksi terhadap Burma selama dekade terakhir. Hal tersebut menurutnya berdasarkan kemajuan menuju demokrasi yang dilakukan negara tersebut.
“Pembalikan kemajuan itu akan membutuhkan peninjauan segera terhadap hukum dan otoritas sanksi kami, diikuti dengan tindakan yang sesuai," tegas Biden.
Menaggapi krisis Myanmar, pemerintahan Biden dengan cepat melakukan diskusi internal tingkat tinggi. Hal tersebut dilakukan untuk menyusun tanggapan terhadap kudeta dan berencana untuk berkonsultasi secara dengan Kongres AS.
“Kami akan bekerja dengan mitra kami di seluruh kawasan dan dunia untuk mendukung pemulihan demokrasi dan supremasi hukum, serta meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab untuk membatalkan transisi demokrasi Burma,” beber Biden.
Selain kudeta militer di Myanmar, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!