'Jalan Buntu' Rekonsiliasi Partai Berkarya
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto memenangkan gugatan terhadap Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Tommy menggugat SK Kemenkumham Partai Berkarya yang menetapkan Muchdi Purwopranjono (Muchdi Pr) sebagai pimpinan partai. 

Putusan Nomor 182/G/2020/PTUN.JKT diketok pada Selasa, 16 Februari ini mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Tommy Soeharto sebagai wakil Dewan Pimpinan Pusat Partai Berkarya sementara sebagai tergugat adalah Menkumham.

“Mengadili dalam pokok perkara; mengabulkan gugatan untuk seluruhnya,” demikian amar putusan PTUN Jakarta dikutip dari Direktori Mahkamah Agung, Rabu, 17 Februari.

Dalam putusannya, majelis PTUN menyatakan batal Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-16.01 Tahun 2020 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai berkarya tertanggal 30 Juli 2020 dan Keputusan Menkum HAM Nomor M.HH-17.AH.11.01 Tahun 2020 tentang Pengesahan Perubahan Susunan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Berkarya periode 2020-2025 tertanggal 30 Juli 2020.

Menanggapi putusan ini, Ketua Partai Berkarya Muchdi Purwopranjono (Muchdi Pr) akan mengajukan banding atas putusanPengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

"Dengan dikabulkannya gugatan penggugat atas dua SK Kemenkumham RI maka kami akan tetap menempuh jalur hukum dengan mengajukan upaya banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut," kata Muchdi melalui keterangan video.

Pengajuan banding ini dilakukan karena proses yang dijalani dari mulai persiapan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) yang pelaksanaannya sejak 10-12 Juli 2020 lalu, telah dilakukan berdasarkan pada aturan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Berkarya serta perundangan yang berlaku.

Dengan keputusan banding ini, Muchdi Pr meminta seluruh kader dan pengurus partai di seluruh tingkatan tetap solid dan berjalan seperti biasa hingga ada putusan yang berkekuatan hukum tetap atau inkhracht.

Selain itu, SK Kemenkumham Nomor 16 dan 17 tertanggal 30 Juli, kata dia, masih tetap berlaku dan sah sampai upaya hukum ini selesai.

Keinginan Muchdi Pr untuk mengajukan banding ini, kemudian direspons oleh Sekjen Partai Berkaya dari kubu Tommy Soeharto, Priyo Budi Santoso. Dia mempersilakan jika Muchdi ingin mengajukan banding.

"Monggo, silakan saja kalau Pak Muchdi akan banding," tegasnya dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Kamis, 18 Februari.

Mantan anggota DPR RI ini meyakini jika Menkumham Yasonna Laoly bakal melihat putusan gugatan yang telah membatalkan kepemimpinan Muchdi Pr. Priyo juga menyebut, putusan ini berarti mengembalikan Partai Berkarya kepada pihak yang berhak memimpin.

"Keputusan ini mengembalikan Partai Berkarya kepada yang berhak. Kami meyakini, Menkumham Yasonna Laoly pada akhirnya berkenan melihat amar keputusan PTUN secara komprehensif, fair, dan wisdom dalam kerangka penegakan hukum dan rasa keadilan," kata Priyo.

Selanjutnya, dia juga menyampaikan pesan dari Tommy Soeharto kepada para kadernya. Kata dia, anak Presiden Soeharto itu ingin agar kadernya tetap bahu membahu melakukan rekonsiliasi di internal partai.

"Ketua Umum Mas Tommy Soeharto berpesan kepada seluruh keluarga besar Partai Berkarya ini saatnya bahu membahu, kita akan lakukan rekonsiliasi bersama-sama," ungkapnya.

Mungkinkah rekonsiliasi ini terjadi antara kubu Tommy Soeharto dan Muchdi Pr?

Direktur Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menilai rekonsiliasi dalam dua kubu ini tak mungkin terjadi. Apalagi Muchdi sudah memiliki rencana untuk melakukan banding.

"Kemungkinan tak akan terjadi rekonsiliasi diantara kedua belah pihak," tegasnya saat dihubungi VOI.

Ujang menilai, mekanisme peradilan dan banding bisa saja membalikkan keadaan ke depan sehingga membuat masalah ini bisa makin meruncing. 

"Masih memungkinkan Muchdi Pr bisa membalikkan keadaan," katanya.

Namun, permasalahan ini memang sebaiknya segera diselesaikan secara internal. Sebab, perebutan yang terjadi bisa membuat kondisi internal menjadi tak kondusif. "Dan tak normal dalam menjalankan organisasi kepartaian," pungkasnya.